Minggu, 08 Mei 2016

Review Film Sang Kiai

Drama ini pada mulanya sebagian besar critana bertempat di pesantren, menceritakan kondisi pesantren Tebu Ireng dan sekitarnya pada masa pergantian kekuasaan Belanda Jepang, namun tidak lama setelah itu keadaan kian berubah. Tahun 1942 Jepang melakukan ekspansi ke Indonesia. Akibatnya beberapa Kiai dari beberapa pesantren ditangkap karena melakukan perlawanan. KH Hasyim Asy'ari sebagai pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng ditangkap karena dianggap menentang Jepang. Penangkapan ini membuat kericuhan di Tebu Ireng, dan menimbulkan reaksi dari para putra beliau serta deretan para santri.

Penangkapan itu membuat situasi pesantren kacau, kemudian KH Wahid Hasyim bersama Wahab Hasbullah meminta agar KH Hasyim Asy'ari dibebaskan namun kepala tahanan yang menahan beliau tidak bersedia membebaskan. Oleh karena itu para santri Tebu Ireng berkejolak hingga kepala tahanan yang menahan KH Hasyim Asy'ari merasa terpojok, kemudian KH Hasyim Asy'ari dipindahkan ke Mojokerto. Kemudian KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbullah meminta bantuan Abdul Hamid Ono, seorang petinggi Jepang muslim yang menjadi teman KH Wahid Hasyim. Kemudian Abdul Hamid Ono mengadakan rapat kecil dengan petinggi Jepang lain dengan tujuan memperjuangkan kebebasan para Kiai dari beberapa pesantren yang ditangkap Jepang. Sementara proses berlangsung, KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbullah mengadakan pertemuan NU di Jakarta, dengan agenda membebaskan para Kiai. Dalam pertemuan tersebut dicapai kesepakatan jalan damai. Hasil dari beberapa perundingan tersebut Jepang membebaskan para Kiai, termasuk KH Hasyim Asy'ari. Mereka mempertimbangkan bahwa membebaskan para Kiai agar bisa diajak kerjasama dengan jalan damai.
Setelah para Kiai dibebaskan, Jepang mengadakan pelatihan yang ditujukan kepada para Kiai agar bisa diajak kerjasama dengan Jepang. Jepang kemudian membubarkan MIAI yang kemudian menggantinya dengan Masyumi yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari.
Melalui Masyumi Jepang minta rakyat melipatgandakan hasil bumi, salah satu jalannya adalah melalui ceramah di masjid. Menanggapi hal ini Shumubu melalui media "Suara Muslimin" meminta Masyumi agar melampirkan ayat-ayat dalam menggerakkan pengumpulan hasil bumi. Dari situ terjadilah perbedaan pandangan antara Shumubu dan Masyumi.
Lama kelamaan Harun berfikir kalau Masyumi berpihak kepada Jepang yang kemudian mempertanyakan hal ini pada KH Hasyim Asy'ari. KH Hasyim Asy'ari menjawab bahwa Masyumi hanya berpihak pada pembesar-pembesar yang adil. Tetapi pemikiran Harun berbeda dengan pemikiran KH Hasyim Asy’ari.
Di luar lingkungan pesantren, rakyat mulai jera dan mulai timbul beberapa orang yang memimpin perlawanan kepada Jepang. Diantaranya adalah Harun dan KH Zaenal Musthafa. Mengetahui hal itu tentara Jepang kemudian menangkap KH Zaenal Musthafa dan merencanakan untuk mengeksekusinya di depan umum. Mengetahui hal itu, Harun merasa semakin marah kepada KH Hasyim Asy,ari selaku ketua Masyumi yang kemudian memilih untuk keluar dari lingkup pesantren. Abdi yang mengetahui hal itu mencoba untuk mencegah kepergian Harun, namun Harun bersikukuh untuk pergi dari pesantren.
Pada suatu ketika Jepang menganggap Shumubu gagal melaksanakan tugasnya, Jepang kemudian mengukuhkan KH Hasyim Asy'ari sebagai ketua Shumubu sekaligus ketua Masyumi. Jepang berpikiran apabila Shumubu dan Masyumi berada dalam 1 kepimimpinan maka tidak akan ada perbedaan pendapat antara Shumubu dan Masyumi, justru akan timbul rasa saling mendukung. KH Hasyim Asy'ari menerima jabatan tersebut dengan pertimbangan untuk berjuang lewat dalam.
Tidak lama setelah itu kedudukan Jepang di Indonesia mulai goyah, Jepang membutuhkan dukungan secara lebih dari rakyat Indonesia. Bersamaan dengan itu Saiko meminta pemuda-pemuda Indonesia untuk bergabung dengan Heiho dengan tujuan membantu Jepang untuk bertempur melawan Sekutu. KH Hasyim Asy’ari menolak hal itu, beliau berfikir para santri tidak akan mau berperang di negri orang tetapi akan berjuang mati-matian memperjuangkan tanah air. Disitulah terjadi perundingan dengan hasil KH Hasyim Asy’ari menyetujui sebatas pelatihan militer dengan tujuan mempertahankan tanah air setelah Indonesia merdeka. Tidak masuk Heiho, melainkan membentuk barisan sendiri dengan nama Hisboellah. Menanggapi keputusan tersebut, KH Wahid Hasim meminta Saifudin Zuffri untuk menyebar luaskan kabar akan diadakannya pelatihan militer ke pesantren-pesantren dan meminta pesantren-pesantren untuk mengirimkan perwakilanya.
14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Menanggapi kabar tersebut barisan Hisboellah menyerang dan mengambil alih pemerintahan Jepang di Jawa Timur.
Setelah Indonesia merdeka tentara Sekutu yang dipimpin oleh Brigadir Mallaby kembali masuk ke Indonesia melalui pantai-pantai Surabaya. Setelah mengetahui hal itu Presiden Soekarno mengirim pesan lewat utusan menghadap KH Hasyim Asy'ari. Pesan Presiden Soekarno itu soal hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah. Menanggapi pertanyaan tersebut KH Hasyim Asy’ari mengadakan rapat dengan para kyai-kyai tua yang pada rapat tersebut dihasilkan jawaban hukumnya membela tanah air adalah Fardhu ‘ain, perang melawan penjajah adalah jihad fisabilillah.
Tidak lama setelah tentara Sekutu masuk ke Indonesia, tentara Inggris memberikan ancaman kepada warga Indonesia yang ada di Surabaya, tetapi rakyat Surabaya tidak takut dan lebih memilih untuk berjihad melawan penjajah. Saat itu menjadi awal pertempuran besar di Surabaya yang berlangsung tanggal 28 Oktober 1945. Pada pertempuran itu pasukan berhasil di pukul mundur oleh Hisboellah dan pemuda-pemuda Surabaya. Menanggapi situasi ini Brigadir Mallaby melapor kepada Jendral DC. Hawton di Singapura dan kemudian membuat perjanjian gencatan senjata dengan Presiden Soekarno.
Pada tanggal 30 Oktober 1945 pihak Indonesia dan Sekutu menyetujui untuk gencatan senjata, namun di pos tentara Inggris yang ada di Surabaya situasi tidak berjalan baik dan pada saat itu juga terjadi peristiwa tewasnya Brigadir Mallaby dan santri Tebu Ireng yang bernama Harun. Tewasnya Brigadir Mallaby ini adalah awal perang besar 10 November 1945 yang melibatkan rakyat, berbagai barisan pemuda serta laskar Hisboellah. Pada tahun 1947 tentara Belanda mulai melancarkan agresi militer Belanda 1. Bersamaan dengan peristiwa itu, di kediaman KH Hasyim Asy’ari  mendapat berita duka yaitu meninggalnya KH Hasyim Asy’ari.

Pertempuran melawan Belanda masih terus berlangsung hingga pada ujungnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 September 1949.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar