Tugasku Dab

BAB III
PEMBAHASAN
  1. Sejarah perkembangan ilmu-ilmu hadits
1.      Macam-macam ilmu hadits
Menurut ulama mutaqaddimin, yang dimaksud dengan Ilmu Hadis ialah:
  1. عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَةِ اتَّصَالِ الأَحَادِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَيْثُ مَعْرِفَةِ أَحْوَالِ رُوَّاتِهَا ضَبْطًا وَعَدًالَةً ومِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ السَّنَدِاتِّصَالاًوَانْقِطَاعًا
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah SAW dari segi ihwal para perawinya, kedabitan, keadilan, dan dari bersambungtidaknya sanad dan sebagainya”.

Ilmu hadits, yakni ilmu yang berpautan dengan hadits, banyak ragam macamnya. Maka dari itu, jika dilihat pada garis besarnya, terbagi dalam dua bagian, yaitu ilmu hadits riwayat (riwayah), ilmu hadits dirayat (dirayah).

2.      Ta’rif ilmu hadits riwayat dan dirayat
Dalam perkembangan ilmu Hadits selanjutnya, ulama mutaakhirin membagi Ilmu Hadis menjadi dua, yaitu ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.
  1. a.      Ilmu Hadis Riwayah
Kata sebagian ulama Tahqiq:
عِلْمُ الْحَدِيْثِ رِوَيَةً : عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كَيْفِيَّةِ اِتِّصَالِ الْحَدِيْثِ بِالرَّسُوْلِ ص م مِنْ حَيْثُ أَحْوَالِ رُوَاتِهِ ضَبْصًاوَعَدَالَةً وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَّتِهِ السَّنَدِ اِتِّصَالاًوَانْقِطَاعًاوَنَحْوَذلِكَ
Ilmu Hadis Riwayah ialah: “Ilmu yang membahas cara kelakuaan persambungan hadis kepada Shahibur Risalah, junjungan kita Muhammad SAW, dari sikap para perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya”, dan yang sepertinya.
Kata riwayah artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu hadis yang berupa periwayatan. Para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadis riwayah, namun yang paling terkenal di antara definisi-definisi tersebut adalah definisi Ibnu Al-Akhfani, yaitu , ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan Nabi SAW, periwayatannya, pencatatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya
Objek kajian ilmu hadits riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, sahabat , dan tabi’in, yang meliputi: Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis seorang periwayat (rawi) kepada periwayat lain;· Cara pemeliharaan, yakni penghafalan, penulisan, dan pembukuan hadits. . Adapaun faedah mempelajari ilmu Hadis Riwayah yaitu untuk menghindari kesalahan pengutipan dari sumber yang pertama, Nabi SAW.
 Ilmu hadits riwayah bertujuan agar umat Islam menjadikan Nabi SAW sebagai suri teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan mengamalkannya. Pada masa Nabi Muhammad saw. para sahabat dilarang menulis hadits. Dengan demikian hadits hanya tersimpan dalam hafalan para sahabat. Periwayatan hadits oleh para sahabat, tabi`in (generasi setelah sahabat), dan tabi`it tabi`in (generasi sesudah tabi`in) dilakukan dengan dua cara, yaitu periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi); dan periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na).
      1). Periwayatan dengan lafal (riwayah hi al-lafzi) adalah periwayatan yang disampaikan sesuai dengan lafal yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. Periwayatan hadits sesuai dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadits yang diriwayatkan secara lafal ini, antara lain:
·         dalam bentuk muta’ahad (sanadnya memperkuat hadits lain yang sama sanadnya),misalnya hadits tentang adzan dan syahadat
·          hadits-hadits tentang doa
·         tentang kalimat yang padat dan memiliki pengertian yang mendalam (jawaami` al-kalimah)
2). Periwayatan dengan makna (riwayah hi al-ma`na) adalah hadits yang diriwayatkan sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad saw. Dengan demikian dari segi redaksinya ada perubahan. Sebagian besar hadits Nabi saw. diriwayatkan dengan cara demikian. Sebab beliau memberi isyarat diperbolehkannya meriwayatkan hadits dengan riwayah hi al-ma`na. Syarat-syarat yang ditetapkan dalam meriwayatkan hadits secara makna ini cukup ketat, yaitu:
·         periwayat haruslah seorang muslim, baligh, adil, dan dhobit (cermat dan kuat)
·          periwayat hadits tersebut haruslah benar-benar memahami isi dan kandungan hadits yang dimaksud
·         periwayat hadits haruslah memahami secara luas perbedaan-perbedaan lafal sinonim dalam bahasa Arab
·          meskipun si pelafal lupa lafal atau redaksi hadits yang disampaikan Nabi Muhammad saw., namun harus ingat maknanya secara tepat;
  1. b.      Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu Hadis Dirayah ialah:
اَلْعِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي القَوَاعِدِ وَالْأَسَسِ وَالقَوَانِيْنَ وَالأُصُوْلِ اَلَّتِى نَسْتَطِيْعُ اَنْ نُمَيِّزَ بِهَا بِيْنَ مَا هُوَ صَحِيْحُ النَّسْبَةِ للرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَّيْهِ وَسَلَّمَ وَمَاهُوَ مَشْكُوْكٌ فِى نِسْبَتِهِ إِلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ilmu pengetahuan yang membahas tentang kaidah-kaidah, dasar-dasar, peraturan-peraturan, yang dengannya kami dapat membedakan antara hadis yang sahih yang disandarkan kepada Rasulullah SAW dan hadis yang diragukan penyandarannya kepadanya”.
Yang menjadi obyek ilmu Hadis Dirayah yaitu keadaan perawi dan marawinya (sanad dan matannya). Dengan mempelajari ilmu Hadis Dirayah ini, kita dapat mengetahui maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) suatu hadis, dan selanjutnya kita dapat mengamalkan yang maqbul dan meninggalkan yang mardud.
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti:
·         sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru)
·         qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut)
·         ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan
·         kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang)
·         munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan)
·         i’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya)
·         washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya)
·         dan wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru). (M.M Azami, Studies ih Hadith Methologi and Literature.16: Mahmud al-thahhan. Taisir Mushthalah al-Hadist, h. 157-164)
·         Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.
Hukum riwayat, adalah al-qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd, yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi. Keadaan para perawi, maksudnya adalah, keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al’adalah) dan ketidakadilan mereka (al-jarh). Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi ketika mereka menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-adda’).Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan Hadis di dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis kitab yang menghimpun Hadis Nabi saw.
Tujuan dan faedah ilmu hadits dirayah adalah:
·         Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa sejak Rasulullah SAW sampai masa sekarang.
·         Mengetahui tokoh-tokoh dan usaha-usaha yang telah dilakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan hadis
·         Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis.
·         Mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam menetapkan suatu hukum syara’.


  1. Cabang-Cabang Ilmu Hadis
a.      Ilmu Rijalil Hadis
Ilmu Rajalil Hadis ialah (Ilmu Hadist 1999:131):
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ مِنْ الصَّحَابِةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ
“Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya.”
            Melalui ilmu ini kita dapat mempelajari persoalan-persoalan di sekitar sanad –baik para perawi yang langsung menerima hadis dari Rasulullah SAW maupun yang menerima hadis dari sahabat dan seterusnya- dan matan. Ilmu ini juga menerangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mahzab yang dipegang, dan keadaan-keadaan para perawi dalam menerima hadis.
b.      Ilmu Jarh wat Ta’dil
Secara bahasa, Al-Jarh berarti luka, cacat, atau cela; sedangkan at-Ta’dil berarti menyamakan (Suparta, 2002: 31). Maka, ilmu Jarh wat Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang keadaan para perawi, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan tertentu dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. Ilmu Jarh wat Ta’dil dipergunakan untuk menetapkan apakah riwayat dari para perawi dapat diterima atau ditolak sama sekali. Jika seorang rawi telah di-tajrih sebagai rawi yang cacat maka periwayatannya ditolak dan jika seorang rawi di-ta’dil sebagai orang yang adil maka riwayatnya bisa ditrima selama syarat yang lain telah terpenuhi.
Kecacatan rawi dapat diketahui melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, yaitu (Suparta, 2002: 32-33):
  • Bid’ah, yaitu melakukan tindakan di luar ketentuan syari’ah.
  • Mukhalafah, yaitu berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah (kuat).
  • Ghalath, yaitu melakukan banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadis.
  • Jahalat, yaitu identitas tidak diketahui secara jelas dan lengkap.
  • Da’wat al-Inqitha’, yaitu diduga penyandaran sanadnya terputus.
Sementara itu, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang men-jarh dan men-ta’dil perawi, adalah (Suparta, 2002: 33):
  • Berilmu pengetahuan
  • Takwa
  • Wara’, yaitu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat (makalah magister pada Mata Kuliah Studi Hadis bab Al Jarhu wa Al Ta’dilu, 2011: 2 )
  • Jujur
  • Menjauhi sifat fanatik terhadap golongan
  • Mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta’dil.
c.       Ilmu Tarikh ar-Ruwah
Ilmu ini mempelajari tentang para perawi dalam usahanya meriwayatkan hadis. Ilmu ini mengkhususkan pembahasannya dari aspek sejarah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa atau waktu mereka mendengar hadis dari gurunya, siapa orang yang meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain-lain (Suparta, 2002: 34).
d.      Ilmu ‘Ilal al-Hadis
Dalam Suparta (2002: 36) diterjemahkan definisinya sebagai berikut: “Ilmu ini membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat mencacatkan kesahihan hadis. Seperti mengatakan bersambung terhadap yang terputus (sanadnya), menyebut hadis yang sanadnya tidak sampai kepada Nabi SAW sebagai hadis yang sampai kepada Nabi SAW, atau memasukkan hadis ke dalam hadis lain”.
e.       Ilmu an-Nasikh wa al-Mansukh
Ilmu yang mempelajari tentang hapus-menghapus hadis. Yang dimaksud adalah hadis yang datang kemudian, menghapus hadis yang datang terlebih dahulu. Seperti hadis tentang nikah mut’ah (kawin kontrak) yang pernah diperbolehkan, kemudian dilarang sampai hari kiamat.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh melalui beberapa cara, yaitu (Suparta, 2002: 38):
  • Penjelasan dari nash atau syari’ sendiri, yaitu Rasul SAW.
  • Penjelasan dari para sahabat.
  • Mengetahui sejarah keluarnya hadis serta asbabul wurud hadis.
f.        Ilmu Asbab Wurud al-Hadis
Tidak semua hadis memiliki asbabul wurud. Meski demikian asbabul wurud penting untuk memahami suatu hadis. Ilmu Asbabul Wurud adalah ilmu untuk menganalisa lebih dalam suatu hadis berkaitan konteks historis, baik berupa peristiwa-peristiwa, pernyataan-pernyataan, atau lainnya yang terjuadi pada saat hadis itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ilmu ini berfungsi sebagai alat analisa untuk menentukan umum-khususnya suatu hadis, muthlaq atau muqayyad, nasikh atau mansukh, dan lain sebagainya (makalah magister pada Mata Kuliah Studi Hadis bab Asbabul Wurud Hadis, 2011: 4 ).
g.      Ilmu Gharib al-Hadis
Ilmu ini mempelajari tentang tafsir lafadz-lafadz pada matan hadis yang sulit dipahami karena jarang digunakan. Beberapa cara dalam menafsirkan, yaitu:
  • Menghadapkan hadis yang matannya mengandung lafadz gharib dengan hadis dari sanad lain yang tidak mengandung lafadz gharib pada matannya.
  • Penjelasan dari sahabat –baik yang meriwayatkan langsung maupun yang tidak- yang paham makna lafadz gharib yang dimaksud.
  • Penjelasan rawi selain sahabat.
h.      Ilmu at-Tashhif wat Tahrif
Dalam buku Ilmu Hadis (Suparta, 2002: 41-42) ilmu pengetahuan ini berusaha menerangkan tentang hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf). Suatu contoh, dalam suatu riwayat disebutkan bahwa salah seorang yang meriwayatkan hadis dari Nabi SAW dari Bani Sulaiman, adalah ‘Utbah ibn Al-Bazr, padahal yang sebenarnya adalah ‘Utbah bin Al-Nazhr. Dalam hadis ini terjadi perubahan sebutan Al-Nazhr menjadi Al-Bazr.
i.        Ilmu Mukhtalif al-Hadis
Ilmu ini mempertemukan hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan maknanya, untuk kemudian pertentangan tersebut dihilangkan karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan. Adapun cara mengkompromikan hadis-hadis tersebut adalah (Suparta, 2002: 43):
  • Dengan men-taqyid kemutlakan hadis.
  • Dengan men-takhshish keumumannya.
  • Dengan memilih sanad yang lebih kuat atau yang lebih banyak datangnya.
  • Dengan membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut.



C.   KESIMPULAN
  1. Pokok ilmu hadis ada dua, yaitu Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah.
  2. Pembahasa Ilmu Hadis Riwayah menitikberakan pada periwayatan hadis, sedangkan Ilmu Hadis Dirayah memfokuskan pada para periwayat hadis.
Dari kedua pokok ilmu tersebut di atas muncul sembilan cabang ilmu, yaitu Ilmu Rijal Al-Hadis, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu Tarikh Ar-Ruwah, Ilmu ‘Ilal Al-Hadis, Ilmu An-Nasikh wa Al-Mansukh, Ilmu Asbabul Wurud Al-Hadis, Ilmu Gharib Al-Hadis, Ilmu Tashhif wa Tahrif, dan Ilmu Mukhtalif Al-Hadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar